Senin, 24 Desember 2012

Aneka Akting Lapangan Rumput

Sepak bola lekat dengan jalan hidup Vigit Waluyo. Ayahnya, H M. Mislan, merupakan tokoh legendaris pendiri klub Delta Putra Sidoarjo-disingkat Deltras. Kini ia pun menjadi figur penting dalam persepakbolaan Jawa Timur. Selain memimpin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jawa Timur, ia mengelola sejumlah klub "binaan".
Vigit menangani antara lain Persikubar Kutai Barat, Mojokerto Putra, Mitra Kutai Kartanegara, dan Deltras Sidoarjo. Ia juga menangani Persiwangi Banyuwangi dan menjadi Manajer PSIR Rembang. Dengan posisinya, ia tak kesulitan ketika menangani Persebaya Surabaya, yang pengurus lama klubnya bergabung ke Liga Primer Indonesia dan berganti nama menjadi Persebaya 1927. Ia segera memboyong para pemain dan pelatih Persikubar ke Surabaya.
Para pemain di klub binaan Vigit rata-rata berusia tua buat ukuran sepak bola. Tapi bukan sekadar teknis yang dituntut. Mereka jagoan "nonteknis", istilah yang sering dipakai buat menyebut urusan menyuap wasit dan pemain. "Dia punya puluhan pemain sepak bola, yang selalu mengikutinya ke mana pun," kata seorang pemasok pemain asal Jawa Timur.
Vigit siap "menangani" klub bergantung pada dana yang ditawarkan. Satu klub sepak bola di Jawa Timur pernah meminta bantuannya dengan tawaran Rp 10 miliar. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," katanya ketika dimintai konfirmasi soal suap-menyuap. "Kalau memang materi pemain dan pelatihnya bagus, pasti menang."
Pemain merupakan unsur penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Bagaimana caranya? Kejadian Agustus tahun lalu ini bisa menjadi contoh. Ketika itu, lima orang pemain Persis Solo-Nova Zaenal Muttaqin, Haryadi, Eko Kancil, Andry, dan Tommy Haryanto-dihubungi nomor tak dikenal yang mengaku Manajer Persiku Kudus. Penelepon meminta mereka tak tampil pada laga playoff Divisi Utama di antara kedua klub di Stadion Jatidiri, Semarang.
Mereka diimingi uang setara dengan sisa gaji yang belum mereka terima dari Persis. Mereka juga akan direkrut ke Persiku pada musim selanjutnya. "Kami tak tahu apakah itu benar Manajer Persiku Kudus atau bukan. Saat kami coba hubungi balik, nomornya tak aktif," kata Nova, gelandang serang yang kini bergabung ke PSIM Yogyakarta.
Seorang pengurus klub yang biasa menjalankan trik "membeli" pemain mengatakan operasi selalu dilakukan rapi dan tanpa jejak. Tawaran tak pernah disampaikan melalui SMS. "Kalaupun perlu menelepon, akan menggunakan nomor yang tak akan dipakai lagi," katanya. Modus ini yang dipakai buat mendekati lima pemain Persis.
Menurut pengurus itu, trik "membeli" pemain membantu timnya melaju ke Liga Super. Selama bertarung di Divisi II pada 2002 hingga lolos Divisi Utama pada 2008, klubnya memanfaatkan jasa para calo penghubung beberapa pemain yang bisa "dibeli". Klub juga memelihara "tim buser wasit", kelompok wasit yang dapat disuap. "Ini cara kami berjuang dalam sistem yang kotor," katanya.
Permainan gelap ini banyak dilakukan lewat perantara yang merangkap sub-agen, yang menawarkan transfer pemain ke klub tapi tak mengantongi lisensi. "Mereka memiliki lobi dan jaringan kuat dengan para pemain," kata sumber yang sama.
Permainan kotor melibatkan tiga-lima pemain, yang menerima suap Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi 1 dan 2. Pada tingkat divisi ini, gaji para pemain sering terlambat. Klub yang mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terikat sistem keuangan daerah yang pencairannya pada bulan tertentu.

Di Divisi Utama dan Liga Super, suap minimal Rp 25 juta per pemain. Kongkalikong lebih sulit dilakukan di level ini. "Sebab, banyak sorotan media, mereka menjadi selektif," katanya. Para calo mendapat jatah 20-30 persen dari nilai suap, dibayar tunai, tak pernah transfer. Pembayaran 10 persen di muka, dan sisanya setelah klub "pengguna jasa" menang.
Pengurus klub tak memberikan arahan detail urusan akrobatik yang harus dilakukan pemain. "Mereka paham situasi," katanya. Ada seribu cara membuat pertandingan kacau demi menguntungkan klub yang bayar.
Berpura-pura dan marah paling mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain diganjar kartu atau menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri. Bisa juga pura-pura tak mampu membendung bola lawan.
Ada trik sejak 1980-an yang masih dipakai para penjaga gawang "bayaran" hingga sekarang. Kiper menyatukan telunjuk dan jari tengah dalam satu lubang jari sarung. Lalu jari manis disatukan dengan kelingking, juga di satu lubang. Alhasil, dua lubang jari sarung kosong. Tentu saja, bola gampang lolos dari tangkapan. Setelah kebobolan, kiper akan segera pasang tampang kesal dan kecewa. Ia melepas dan membuang sarung tangannya.
Beberapa pemain asing pun bisa dibeli. Nilai kontrak para pemain asing tak berbeda dengan pemain lokal kelas menengah ke bawah. Sebagian mendapat bayaran sekitar Rp 150 juta setahun. Selain pas-pasan, pembayarannya pun tak sesuai dengan kontrak.
Pemain asing asal Paraguay, Roberto Acosta, saat bermain di Deltras pada 2008 mengeluhkan 25 persen atau Rp 50 juta sisa kontrak belum dilunasi menjelang kontrak berakhir. Padahal 25 persen dari kontrak biasa diterima di awal kompetisi dan 75 persen diterima tiap bulan sebagai gaji.
Mantan General Manager Deltras George Handiwiyanto saat serah-terima kepengurusan menerima banyak sekali keluhan pemain asing. Menurut George, ada pemain yang dikontrak Rp 100 juta dan hanya menerima setengahnya. "Separuhnya dinikmati agen dan oknum pengurus klub, itu masuk kantong pribadi," kata George.
Hal senada diungkapkan mantan Manajer Persitara, Harry Ruswanto. Pemotongan kontrak pemain asing biasa dilakukan. Kalau pemain berkeberatan kontraknya dipotong, angka dalam kontrak dinaikkan. Bila harga pemain Rp 200 juta, kontrak yang tertera Rp 300 juta. Sisanya Rp 100 juta untuk kepentingan agen dan pengurus.
George sempat melaporkan masalah kontrak dan pertanggungjawaban keuangan yang tak beres di Deltras. Namun penyelidikan Kejaksaan Negeri Sidoarjo menguap. "Kasus ini sudah selesai, saya tidak ingin ada apa-apa lagi pada diri saya," ujar George. Soal kasus kontrak, Roberto yang sekarang bermain untuk klub di Vietnam tak memberikan jawaban atas konfirmasi Tempo lewat surat elektronik.
Tak semua pemain asing kaya mendadak setelah dikontrak klub di Indonesia. Mereka pun bersedia menerima "penghasilan tambahan". Menurut seorang pengurus klub, pemain asing dapat dihubungi lewat para agen. "Biasanya agen enggak enak menolak permintaan klub," katanya.
Klub menghubungi agen bila lawan mainnya memiliki pemain dari agen yang sama. Selain itu, kedua pemain asing tersebut berasal dari negara yang sama. "Mereka sulit diawasi, apalagi bila menggunakan bahasa asing yang tak dikenal," katanya.
Sub-agen yang banyak mengorbitkan pemain asing kelas menengah, Julian Baros, membantah tuduhan itu. "Tak pernah ada yang menawari saya cara seperti itu," katanya. Agen senior Eko Soebekti juga mengatakan tidak ada permainan seperti itu.


sumber :  http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/korupssi/page09.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar